Hari
ini Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) berlangsung serentak di seluruh
Indonesia. Begitu pun dengan daerahku. Sayangnya aku belum cukup umur untuk
ikut merayakan pesta rakyat ini. Teman-temanku yang sebagian besar sudah cukup
umur ikut berpartisipasi menyumbangkan suara mereka kepada calon yang mereka ‘anggap’
dapat menjadikan daerahku lebih baik lagi untuk lima tahun kedepan.
Pengumuman
resmi dari Komisi Pemilihan Umum memang belum keluar. Tapi berdasarkan laporan
hasil perolehan suara dari setiap TPS sudah dapat dipastikan siapa yang akan
memimpin Kabupaten Kepulauan Selayar untuk lima tahun ke depan.
Malam
ini aku bertemu dengan salah satu tim sukses dari pasangan calon yang
memenangkan PILKADA di sebuah kedai makan pinggir pantai. Kebetulan dia
berteman dengan bapakku. Dari bapakku ku dengar dia adalah seorang preman,
walaupun penampilannya tidak seperti preman-preman pasar yang tampil urakan dan
tidak terurus.
Penampilannya
rapi dengan menggunakan kemeja putih berlengan pendek dan celana kain hitam. Dia
ditemani dua bapak-bapak yang menggunakan pakaian bernuansa hitam. Salah satu
dari bapak-bapak itu adalah seorang konsultan politik.
Dia
tampak bahagia sekali karena calonnya menang. Walaupun tidak dapat melihat
wajahnya dan aku memang tidak ingin melihat wajahnya, pancaran kegembirannya
terpancar jelas dari cara dia berbicara. Bukan hanya sekedar kebahagiaan, tapi
juga kesombongan.
Bagaimana
tidak ? Dengan menangnya calon yang dia dukung mungkin dia sudah menang puluhan
juta dari hasil bertaruh dengan teman-temannya.
Dia
bercerita dengan bahagianya bagaimana calonnya bisa menang. Berapa perolehan
suara mereka di setiap TPS dan berapa banyak suara yang tidak disangka-sangka. Dia
bahkan sibuk menerima telpon dari tim sukses yang berada di kepulauan dan menerima
laporan bahwa di pulau mereka juga menang. Dia juga menelpon tim sukses calon
yang kalah dan memamerkan kemenangan yang dimilikinya. Sombong betul orang ini,
pikirku.
Aku
yang saat itu sedang menikmati mie pangsit kesukaanku rasanya ingin segera
pergi dari tempat itu. Aku merasa ingin muntah mendengarkan betapa bangga,
senang, dan bahagianya dia karena calonnya menang. Tapi yang sampai di
pendengaranku itu hanya kesombongan seseroang yang ingin berkuasa dengan
menghalalkan segala cara. Aku merasa jijik dengan orang seperti mereka. Mereka yang
mengandalkan uang untuk menang. Mereka yang mengandalkan uang untuk mendapatkan
suara. Mereka yang mengandalkan uang untuk meraih apa yang mereka inginkan. Akan
jadi seperti apa daerahku kedepannya jika dipimpin oleh pemimpin yang menang
dengan cara seperti itu ?
Melihat
realita seperti ini aku jadi berfikir, sebodoh itukah masyarakat ? Serendah
itukah harga diri mereka ?
Pemilihan
kepala daerah di daerah bagaikan ajang berjudi bagi mereka yang berduit. Setiap
calon mengeluarkan pundi-pundi rupiah yang ada di tabungan mereka. Angkanya fantastis.
Totalnya bisa mencapai puluhan milyar. Pantas saja hanya orang-orang berduit
yang berani mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Yang menarik adalah bukan
hanya para calon yang berjudi, tapi juga para tim sukses masing-masing saling
berjudi. Segala sesuatunya menggunakan uang. Jangan berani bermimpi menang
kalau tidak mengeluarkan budget yang besar. Besarnya suara tergantung dengan
banyaknya uang yang dikeluarkan.
Inilah
politik. Segala cara dilakukan untuk mencapai tujuan.