Kajian Jum’at adalah kegiatan
yang paling menjengkelkan, paling tidak menyenangkan, dan paling membosankan
yang harus di ikuti dan dilakukan dengan ‘senang hati’ seminggu sekali setiap
hari Jum’at setelah pelajaran terakhir.
Yang membuat kegiatan itu
menjengkelkan adalah karena kegiatan itu menyita waktu kami sehingga kami yang
jadwal pulangnya emang udah molor jadi tambah molor lagi. Belum lagi pembawa
materi kajian itu super duper sangat tidak menyenangkan. Tidak dapat menarik
simpati para siswa untuk mau mendengarkan ‘ocehan’ agamanya. Mungkin ada sih
beberapa yang tertarik, tetapi sisanya lebih kepada terpaksa.
Ini mungkin sudah kesekian
kalinya aku menulis tentang betapa menjengkalkannya kegiatan mingguan itu. Cukup
mengherankan betapa Kajian Jum’at itu selalu memiliki bagian tersendiri dalam
setiap postinganku.
Entah kenapa selalu saja ada
cerita yang bisa ku tulis tentang Kajian Jum’at seolah tidak ada kegiatan lain
yang lebih berkesan di banding Kajian Jum’at itu. IBSEC misalnya, atau Tahfidz
mungkin. SekarangTahfidz hampir sama menjengkelkannya dengan Kajian Jum’at. Tapi
entah kenapa aku tidak pernah bosan dan tidak menyerah untuk pergi Tahfidz
walaupun setiap kali Tahfidz aku hampir tidak pernah tidak mengeluh tentang Pembina
Tahfidz.
Jum’at kemarin adalah pertemuan Kajian
Jum’at yang entah keberapa. Selama ini, aku memang jarang memperhatikan apa
yang disampaikan oleh pemateri, bahkan tidak jarang aku lebih suka ngobrol lepas
mendiskusikan berbagai macam topik dengan teman-temanku daripada mendengarkan ‘ocehan’
sang pemateri. Dan selama ini aku tidak pernah mendapat masalah karena hal itu.
Jadi seharusnya itu adalah hal yang biasa-biasa saja.
Tetapi Jum’at kemarin berbeda. Seperti
yang pernah ku katakana di postinganku sebelumnya bahwa hari Jum’at itu adalah
hari yang menyenangkan karena merupakan gerbang menuju akhir pekan. Satu-satunya
hal yang mengurangi kesenangan hari Jum’at karena adanya Kajian Jum’at itu dan
tentu saja karena pelajaran Sejarah.
Kajian Jum’at kemarin aku sengaja
terlambat masuk. Memang begitu sih biasanya kalau Mamaku masuk mengajar. Tapi kemarin
beliau tidak masuk karena sedang ke Makassar mengikuti pelatihan. Hal itu
seharusnya semakin menambah kesenangan hari Jum’at kemarin karena Matematika
juga tidak masuk. Hanya guru sejarah yang memang rajinnya kelewatan, masuk pada
jam pertama.
Sesampai di dalam ruangan Kajian
Jum’at, aku dan teman-temanku mengambil tempat paling belakang. Tempat favorite
kami setiap Kajian Jum’at. Semua orang tampak sedang menulis, karena kami
terlambat masuk jadi kami tidak tau apa yang mereka tulis. Mereka pun tidak
memberitau kepada kami apa yang harus ditulis. Maka dengan santainya dan
perasaan tanpa dosa kami pun hanya duduk di belakang sambil memandangi teman-teman
kami yang tengah serius menulis.
“Mereka nulis apa, sih ?”
“Gak tau. Kita kan baru nyampe.”
“Eh, mereka nulis apaan sih ?”
“Ah, udahlah. Gak usah di
pikirkan. Kita kan terlambat datang. Mereka juga nggak ngasihtau kita apa yang
harus di tulis. Santai aja.”
“Ya udah deh kalau gitu.”
Lama kelamaan, salah seorang dari
pun mulai membuka topic pembicaraan. Saat itu yang lain masih sibuk menulis. Dan
topic yang kami bicarakan kali ini adalah masalah cinta dan pacaran. Maklumlah masa
remaja, masih proses pencarian jari diri. Obrolannya tidak akan jauh dari
masalah yang seperti itu.
Hanya Inna dan Idha yang sangat
sibuk dan serius berdiskusi tentang hal itu. Kadang-kadang aku juga ikut
nimbrung dengan mereka sambil berusaha memperhatikan apa yang sedang di
sampaikan oleh pemateri. Tetapi suara dua mahluk aneh yang sedang sibuk membicarakan
cinta lebih mendominasi pendengaranku saat itu. Jadi hanya mataku yang tertuju
kedepan, tetapi telingaku sibuk mendengarkan diskusi mereka. Akhirnya aku pun
ikut dalam diskusi sesat itu tanpa menyadari bahwa ternyata kami sedang
diperhatikan oleh pembawa materi.
Setelah Kajian, untuk pertama
kalinya selama kegiatan ini berlangsung, aku, Inna, Idha, dan Kiky di tahan
oleh pembawa materi dan tidak di izinkan pulang. Dia menagih tugas yang
diberikannya seminggu yang lalu kepada kami. Ternyata yang tadi ditulis oleh
teman-teman kami adalah jawaban dari tugas yang minggu lalu. Tega banget gak
berbagi informasi. Seandainya kami kumpul tugas kan kami tidak akan berakhir
mengenaskan di gerbang menuju akhir pekan ini.
Di tengah suasana yang mencekam
dan menegangkan di bawah hujatan tatapan menghakimi sang pembawa materi, tiba-tiba
Kiky mengeluarkan selembar kertas putih dari dalam tasnya berisi tulisan
sebanyak kurang lebih 5 baris. Ternyata itu adalah jawaban Kiky untuk tugas
yang minggu lalu.
Rasanya kayak mau pingsan di
tempat waktu Kiky menyerahakan kertas putih sakral itu ke pembawa materi. Kiky
gak setia kawan banget. Pengen rasanya bejek-bejek anak itu kemudian di campur
dengan terigu dan digoreng. Jadi deh bakso goreng rasa manusia.
“Tadi apa yang kalian diskusikan
di belakang ?”
Glek. Pertanyaan pembukanya koq
nyeremin ya. Langsung nusuk ke jantung gitu. Duh, harus jawab apa nih ?? Masa
iya kami menjawab “Lagi mendiskusikan masalah cinta, Bu.” Dengan ekspresi
unyu-unyu dan perasaan tanpa dosa.
“Selama ini saya kira kelas IPA
yang paling perhatian. Atau saya yang salah ?”
Waduh. Pertanyaannya ngejleb
banget. Entah bagaimana ekspresiku saat itu. Antara berusaha tenang dan cuek
tapi juga panik dan bingung mencari alasan dan jawaban yang tepat.
Aku mempertimbangkan segala
kemungkinan yang terjadi jika saja aku benar-benar mengaku bahwa kami
mendiskusikan masalah cinta. Kemungkinan terbesar adalah dia akan menyuruh kami
mengulang kembali diskusi tersebut dan hal itu akan membuat kami semakin lama
tertahan di sini.
Satu-satunya hal yang kami
lakukan hanyalah tertunduk pasrah tanpa berani memandang wajah pembawa materi. Jadi
serasa kayak melakukan kesalahan besar dan masuk ruang BP.
Tampaknya hari itu kami sedang
sial karena tertangkap basah melakukan tindak criminal. Padahal sebelumnya
tidak pernah sekali pun kami tertangkap.