Aku sebenarnya
sedang puasa menulis sampai misi rahasia ku selesai. Tapi issue pemilu periode
ini membuat tanganku gatal ingin menulis dan ingin menumpahkan pikiranku terhdap
pemilu tahun ini. Lebih tepatnya aku ingin mengkritik dan membicarakan fakta
yang terjadi pada pemilu tahun ini.
Usiaku baru 15
tahun dan aku belum pernah sekalipun ikut pemilu karena, tentu saja, aku masih
di bawah umur alias umurku belum cukup memenuhi syarat untuk dapat mengikuti
pemilu.
Pemilu tahun ini
adalah pemilu kedua yang ku ikuti, lebih tepatnya aku alami, walaupu tidak
terlibat secara langsung, tapi sedikit banyak aku tau tentang seluk beluk
pemilu. Bagaimana tidak, setiap pemilu berlangsung, berita di tv penuh dengan
gambar logo partai, acara-acara talkshow juga banyak yang membahas tentang
partai, iklan pun di hiasi dengan iklan partai, di sekolah orang juga sibuk
membahas
tentang partai.
Pemilu memang
penuh dengan kecurangan, lebih tepatnya politik memang penuh dengan kecurangan. Kembali kepada defenisi politik sendiri yang memiliki arti menghalalkan segara
cara untuk mencapai tujuan. Dan itu benar-benar terjadi, banyak pihak yang
telah terbukti menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Yang ketahuan
sudah banyak, yang belum ketahuan lebih banyak lagi.
Tapi berdasarkan
kabar burung dan kabar angin yang ku dengar, pemilu tahun ini adalah pemilu
terkotor sepanjang sejarah, khususnya di daerahku. Walaupun di tv banyak yang
memberitakan tentang caleg yang “membeli” suara, itu artinya hal itu terjadi di
daerah lain juga, tapi di daerah ku baru tahun ini pemilu se”kotor” ini,
entahlah kalau di daerah lain.
Mereka (para
caleg) melaksanakan pemilu ini seolah sedang berjudi. Pasang taruahan di
mana-mana, artinya mereka tebar uang dimana-mana, dengan harapan mereka akan
terpilih.
Syukur kalau terpilih, kalau tidak ? Kan tidak mungkin kalau semuanya harus duduk,
tidak mungkin semuanya akan menang, jika ada yang menang pasti ada yang kalah.
Yang menang dapat
berbahagia karena itu artinya mereka dapat kembali modal dengan gaji yang akan
di dapatkannya saat menjabat nanti di tambah dengan proyek-proyek yang bisa di
kerjakan. Nah, yang kalah ? Uang habis, suara tidak ada. Gigit jari aja.
Tapi aku tidak
habis pikir dengan pemilu kali ini. Politik memang kejam. Kawan bisa jadi
lawan. Jangankan kawan, keluarga pun bisa jadi lawan.
Aku bilang begitu
bukan tanpa alasan. Dalam politik, keluarga pun bisa jadi lawan. Temanku pernah cerita, ada seorang
caleg yang sangat percaya akan dapat duduk karena mempunyai keluarga yang cukup
banyak untuk dapat mendongkrak suaranya, tapi saat hasil penghitungan suara keluar,
ternyata di desa itu Cuma beberapa orang yang memilihnya, itu pun dapat
diketahui yang mana-mana saja yang memilihnya.
Setelah di usut,
ternyata keluarga yang lain lari ke pihak lain, tapi masih dalam partai yang
sama, karena beberapa hari sebelum pemilu, ada caleg lain yang datang dan “menanam
benih” (baca : membeli suara).
Dan, cara itu berhasil.
Uang mengalahkan
kekeluargaan. Bantu membantu yang selama ini dilakukan, seakan sirna dan
hilang, seakan tidak ada apa-apanya di bandingkan uang merah bergambar Ir.
Soekarno yang hanya akan memberi keuntungan saat itu saja.
Bahkan ada
tetanggaku, dia tim salah satu caleg, sebanyak 12 keluarganya yang tinggal
bersamanya, hanya dua orang yang memilih “bos”nya. Sisanya yang 10 kemana ?
Jangan tanya padaku, karena jawabanku akan sama dengan apa yang ku tulis di
atas.
Uang mengalahkan
kekeluargaan.
Bukan hanya caleg
yang “menggila” sebar uang dimana-mana, tapi masyarakat juga “menggila” ambil
keuntungan dimana-mana.
Aku tidak habis
pikir, aku pusing, aku bingung, apa yang sebenarnya ada dalam pikiran
orang-orang itu?
Hanya demi beberapa lembar uang seratus ribu yang bisa habis
dalam sekejap, mereka rela mengesampingkan keluarga ? Uang lebih penting
daripada keluarga ? Keluarga tidak ada apa-apanya dan tidak ada harganya di
banding uang ? Ah, entahlah.
Orang-orang itu
hanya memikirkan keuntungan sesaat. Ya, memang benar, kalian untung karena
mendapat uang. Tapi uang itu hanya berlaku saat itu juga, dan cepat atau lambat
uang itu pasti habis.
Kini bangsa ini
menempatkan uang di atas segalanya. Bukan hanya di kota besar, di daerahku pun
begitu.
Aku prihatin,
tampaknya bangsa ini sudah kehilangan jati dirinya. Ingin rasanya menangis
melihat kenyataan ini. Bangsa Indonesia yang terkenal suka bergotong-royong dan
menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan kini sudah tidak ada lagi.