Senin, 14 April 2014

Uang Vs Keluarga

Aku sebenarnya sedang puasa menulis sampai misi rahasia ku selesai. Tapi issue pemilu periode ini membuat tanganku gatal ingin menulis dan ingin menumpahkan pikiranku terhdap pemilu tahun ini. Lebih tepatnya aku ingin mengkritik dan membicarakan fakta yang terjadi pada pemilu tahun ini.

Usiaku baru 15 tahun dan aku belum pernah sekalipun ikut pemilu karena, tentu saja, aku masih di bawah umur alias umurku belum cukup memenuhi syarat untuk dapat mengikuti pemilu.



Pemilu tahun ini adalah pemilu kedua yang ku ikuti, lebih tepatnya aku alami, walaupu tidak terlibat secara langsung, tapi sedikit banyak aku tau tentang seluk beluk pemilu. Bagaimana tidak, setiap pemilu berlangsung, berita di tv penuh dengan gambar logo partai, acara-acara talkshow juga banyak yang membahas tentang partai, iklan pun di hiasi dengan iklan partai, di sekolah orang juga sibuk membahas 
tentang partai.

Pemilu memang penuh dengan kecurangan, lebih tepatnya politik memang penuh dengan kecurangan. Kembali kepada defenisi politik sendiri yang memiliki arti menghalalkan segara cara untuk mencapai tujuan. Dan itu benar-benar terjadi, banyak pihak yang telah terbukti menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Yang ketahuan sudah banyak, yang belum ketahuan lebih banyak lagi.

Tapi berdasarkan kabar burung dan kabar angin yang ku dengar, pemilu tahun ini adalah pemilu terkotor sepanjang sejarah, khususnya di daerahku. Walaupun di tv banyak yang memberitakan tentang caleg yang “membeli” suara, itu artinya hal itu terjadi di daerah lain juga, tapi di daerah ku baru tahun ini pemilu se”kotor” ini, entahlah kalau di daerah lain.

Mereka (para caleg) melaksanakan pemilu ini seolah sedang berjudi. Pasang taruahan di mana-mana, artinya mereka tebar uang dimana-mana, dengan harapan mereka akan terpilih.

Syukur kalau terpilih, kalau tidak ? Kan tidak mungkin kalau semuanya harus duduk, tidak mungkin semuanya akan menang, jika ada yang menang pasti ada yang kalah.

Yang menang dapat berbahagia karena itu artinya mereka dapat kembali modal dengan gaji yang akan di dapatkannya saat menjabat nanti di tambah dengan proyek-proyek yang bisa di kerjakan. Nah, yang kalah ? Uang habis, suara tidak ada. Gigit jari aja.

Tapi aku tidak habis pikir dengan pemilu kali ini. Politik memang kejam. Kawan bisa jadi lawan. Jangankan kawan, keluarga pun bisa jadi lawan.

Aku bilang begitu bukan tanpa alasan. Dalam politik, keluarga pun bisa jadi lawan. Temanku pernah cerita, ada seorang caleg yang sangat percaya akan dapat duduk karena mempunyai keluarga yang cukup banyak untuk dapat mendongkrak suaranya, tapi saat hasil penghitungan suara keluar, ternyata di desa itu Cuma beberapa orang yang memilihnya, itu pun dapat diketahui yang mana-mana saja yang memilihnya.
Setelah di usut, ternyata keluarga yang lain lari ke pihak lain, tapi masih dalam partai yang sama, karena beberapa hari sebelum pemilu, ada caleg lain yang datang dan “menanam benih” (baca : membeli suara).

Dan, cara itu berhasil.

Uang mengalahkan kekeluargaan. Bantu membantu yang selama ini dilakukan, seakan sirna dan hilang, seakan tidak ada apa-apanya di bandingkan uang merah bergambar Ir. Soekarno yang hanya akan memberi keuntungan saat itu saja.

Bahkan ada tetanggaku, dia tim salah satu caleg, sebanyak 12 keluarganya yang tinggal bersamanya, hanya dua orang yang memilih “bos”nya. Sisanya yang 10 kemana ? Jangan tanya padaku, karena jawabanku akan sama dengan apa yang ku tulis di atas.

Uang mengalahkan kekeluargaan.

Bukan hanya caleg yang “menggila” sebar uang dimana-mana, tapi masyarakat juga “menggila” ambil keuntungan dimana-mana.

Aku tidak habis pikir, aku pusing, aku bingung, apa yang sebenarnya ada dalam pikiran orang-orang itu? 

Hanya demi beberapa lembar uang seratus ribu yang bisa habis dalam sekejap, mereka rela mengesampingkan keluarga ? Uang lebih penting daripada keluarga ? Keluarga tidak ada apa-apanya dan tidak ada harganya di banding uang ? Ah, entahlah.

Orang-orang itu hanya memikirkan keuntungan sesaat. Ya, memang benar, kalian untung karena mendapat uang. Tapi uang itu hanya berlaku saat itu juga, dan cepat atau lambat uang itu pasti habis.

Kini bangsa ini menempatkan uang di atas segalanya. Bukan hanya di kota besar, di daerahku pun begitu.

Aku prihatin, tampaknya bangsa ini sudah kehilangan jati dirinya. Ingin rasanya menangis melihat kenyataan ini. Bangsa Indonesia yang terkenal suka bergotong-royong dan menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan kini sudah tidak ada lagi.


 
ReKerNoPis Blogger Template by Ipietoon Blogger Template