Beberapa minggu
yang lalu aku pergi ke Kabupaten Pinrang dalam rangka MTQ Nasional Tingkat
Provinsi.
Empat bulan yang
lalu, aku dan teman-temanku menang telak atas beberapa kecamatan yang menjadi
peserta MTQ cabang lomba Fahmil Qur’an. Kemenangan itu adalah kemenangan
termanis dalam hidupku.
Karena seingatku,
seumur hidupku, itu adalah pertama kalinya aku mendapat juara satu dan berhasil
mengantarku untuk mewakili kabupaten tercinta berlomba di tingkat provinsi. Waktu
SD, aku juga pernah mendapat juara satu, tapi itu hanya sampai tingkat
kabupaten, tidak ada lanjutannya ke tingkat provinsi.
Satu lagi mimpiku
yang jadi kenyataan. Sudah sejak dulu, sejak aku mengetahui kalau kita menang
lomba kita bisa pergi jalan-jalan ke daerah lain. Dikirim oleh pemerintah
daerah untuk mengharumkan nama daerah. Sejak saat itu pula aku selalu bermimpi
bisa menjadi salah satu di antara mereka.
Bisa pergi ke
daerah lain, dikirim sebagai utusan atau perwakilan daerah.
Dan juara satu
yang ku dapat 4 bulan yang lalu merupakan pintu gerbang yang dapat mengantarkan
ku menggapai mimpi itu.
Aku bahagia
sekali saat tau bahwa juara satu di kabupaten dapat mewakili kabupaten
masing-masing berlomba di tingkat provinsi.
Aku bangga. Aku bahagia.
Aku spechless.
Ini adalah
pertama kalinya dalam hidupku. Dan ini merupakan moment yang bersejarah. Tidak bisa
digambarkan dengan kata-kata betapa bahagia dan bangganya aku saat bisa
mewakili kabupaten sendiri di tingkat provinsi.
Tapi sayang ....
Euforia kesenangan
dan kebanggaan itu hanya berhenti sampai di situ saja. Aku harus cukup puas
menang di tingkat kabupaten ?
Loh ? Kenapa bisa
? Memangnya tidak lanjut ke provinsi ?
Iya. Emang bisa.
Lanjut sih ke provinsi, aku sudah pergi ke Pinrang untuk siap berperang dengan kabupaten
lain yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan.
Tapi sayangnya,
ketika rasa bangga itu sudah sampai di puncak dan rasa deg-degan kembali terasa
ketika melihat peserta lawan di lokasi pendaftaran, ketika sudah merasa ada di
atas awan, aku harus jatuh dengan cepat dan berdebum di tanah. SAKIT.
Teman satu grupku
tidak dapat memenuhi syarat yang telah di tentukan. Umurnya lewat dari
ketentuan yang telah di tetapkan. Dan itu hanya lewat satu bulan.
Rasa bangga itu
seketika hilang. Rasa bahagia itu seketika pergi. Berganti dengan rasa kecewa
yang amat sangat dan rasa sedih yang dalam.
Pertandingan yang
telah ku tunggu dengan sangat tidak sabar selama 4 bulan. Mengerahkan semua
tenaga dan pikiran untuk bisa menghafal materi yang diberikan.
Tapi akhirnya
semua itu sia-sia.
Dan yang paling
membuatku kecewa adalah, aku tidak tau harus pulang dengan status apa. Menang tidak.
Kalah juga tidak.
Aku pergi ke
Pinrang meninggalkan Selayar dengan perasaan tidak tenang karena aku pergi
dengan kondisi yang sedang bermusuhan dengan orang lain. Cuek-cuekan dan tidak
pernah saling tegur sapa. Hal itu membuat hatiku tidak tenang selama perjalanan
ke Pinrang.
Sambil berharap
nanti kalau sudah pulang ke Selayar hubunganku dengannya bisa baik lagi dengan
sendirinya. Sekalian aku bisa membuatnya bangga jika aku berhasil mendapatkan juara di
tingkat provinsi.
Tapi ketika
pulang kembali ke Selayar, perasaanku lebih tidak tenang lagi. Aku pusing. Aku gelisah.
Galau. Tidak tau pulang dengan status apa.
Aku merasa pulang
sebagai pengecut. Tidak bisa mempersembahkan apa-apa ke orang yang bangga dan
mendukungku.
Lebih baik pulang
berperang dengan status kalah daripada sudah menginjak medan perang tetapi
tidak berperang sama sekali.