Samata, 6 Desember 2017
Hari Rabu. Pondok Faris kamar
106. Sendiri.
Aku anak tunggal. Sejak kecil aku
melakukan semuanya sendiri. Tapi bukan mandiri. Aku hanya tidak punya teman
untuk berbagi, bermain, bercanda, atau pun bertengkar. Jadi bisa dibilang aku
sudah terbiasa sendiri.
Hari ini jadwal kuliahku kosong.
Jadi yang bisa ku lakukan hanyalah berdiam diri di kos.
Sebenarnya ada banyak hal yang bisa
ku lakukan. Mencuci. Baca novel. Membersihkan kos. Tidur. Me Time kata orang.
Menghabiskan waktu dengan diri sendiri. Menikmati kesendirian. Oke, aku memang
menikmati kesendirian. Aku bisa melakukan apapun yang ku mau. Tapi entah kenapa
hari ini aku merasa hampa.
Di selayar, di rumah, walaupun
aku ditinggal sendiri di rumah aku tidak pernah benar-benar merasa sendiri,
tidak pernah merasa sepi, tidak pernah merasa hampa. Aku bahkan menikmati
kesendirianku.
Tapi di sini, di samata, di kos,
sendiri bukanlah hal yang bagus menurutku. Aku merasa hampa. Kosong. Aku bahkan
tidak pernah merasa benar-benar bahagia sejak tiba di sini.
Tertawa. Bercanda. Bermain.
Nampak sangat ceria, bahagia, ringan tanpa beban. Aku bisa bersikap seperti
itu. Sangat bisa. Membahagiakan diri sendiri. Sangat bisa.
Namun tetap saja kadang aku akan
sampai pada satu titik di mana aku Lelah dengan semua ini. Aku ingin berhenti.
Ingin pulang. Selayar jauh lebih nyaman daripada Samata maupun Makassar.
Makassar punya segalanya.
Makassar sudah masuk kota metropolitan. Semuanya ada. Tinggal sebutkan apa mau
mu. Tapi Makassar tidak punya kenyamanan seperti yang Selayar berikan padaku.
Aku hanya ingin pulang. Mengisi
ulang tenaga untuk menghadapi kerasnya kehidupan mahasiswa.