Siang hari yang menyengat. Matahari
memaksimalkan panasnya pada siang hari itu. Ruangan kelas seketika berubah
menjadi oven raksasa. Empat buah kipas angin yang terdapat di dalam ruangan
telah bekerja dengan maksimal. Sayangnya itu tidak dapat mengurangi sedikit pun
hawa panas siang itu.
Pelajaran terkakhir siang itu, Speaking
English. Pelajaran ini sebenarnya menyenangkan. Sangat menyenangkan malah. Di
tambah lagi pelajaran itu di pegang oleh Mr. Idhar, membuat pelajaran itu
semakin menyenangkan. Tapi suasana panas siang itu membuatku tidak konsen untuk
memperhatikan pelajaran.
Lapar, ngantuk, dan panas. Pelajaran terakhir
memang merupakan saat-saat terberat baik bagi guru maupun siswa.
Ku lirik jam tanganku. Hm, penderitaan ini
masih akan berlanjut selama satu jam kedepan. Kesabaran ekstra dibutuhkan dalam
kasus kali ini.
Ketika kebosanan benar-benar telah menyerangku,
dari arah pintu terdengar suara ribut-ribut. Suara ribut-ribut macam apa di
siang yang panas ini ?
Ternyata mereka adalah anak XII IPA yang ingin
minta maaf. Biasa. Tradisi tahunan. Setiap tahun, menjelang diadakannya ujian
akhir, maka kakak-kakak kelas tiga akan berbondong-bondong pergi ke setiap
kelas untuk meminta maaf. Serasa kayak lebaran dadakan gitu. Bedanya ini tidak
ada acara takbiran dan juga tidak ada ketupat. Hanya acara salam-salaman dan
maaf-maafan biasa yang kadang diselingi dengan drama tangis-menangisi karena
akan ada yang di tinggalkan dan akan ada yang meninggalkan.
Tahun lalu aku pun ikut menjalankan drama
tersebut. Dengan air mata yang mengalir, ku peluk erat-erat kakak kelas tiga
yang akan pergi meninggalkan kami. Awalnya aku hanya menangis terpaksa. Ikut
berpartisipasi meramaikan suasana. Tapi ketika melihat kak Musfirayanti dan
sadar bahwa dia akan pergi dan tidak akan ada lagi senior yang menemaniku
ketika Tahfidz, di saat itulah air mataku luluh dan aku pun turut serta dalam
drama tangis-menangisi tersebut.
Tahun ini tidak ada drama tangis-menangisi.
Entah kenapa. Aku ingin menangis, tapi tidak ada sedikit pun air mata yang
keluar. Hanya perasaan sedih dalam hati melihat seniorku akan segera pergi
meninggalkan kami dan melanjutkan perjuangan mereka.
Ku perhatikan satu persatu wajah seniorku.
Berusaha mencari kenangan yang dapat membuatku menangis. Lalu aku sampai pada
wajah seseorang yang selalu ku perhatikan dan ku kagumi sejak kelas satu. Ku
perhatikan wajah itu. Tidak ada raut kesedihan di wajah yang selalu tampak
bahagia itu. Kesedihan yang ku rasakan dalam hatiku semakin bertambah ketika
sadar bahwa ia akan pergi meninggalkan sekolah ini, meninggalkanku.
Acara salam-salam pun di mulai. Satu persatu
personil XII IPA menyalamiku dan teman-temanku. Ku jabat tangan mereka, dan
untuk orang yang cukup akrab denganku, ku berikan pelukan hangat. Hanya itu
yang bisa ku lakukan. Untuk saat itu aku tidak bisa mengeluarkan air mata untuk
mengekspresikan kesedihanku saat itu.
Lalu giliran dia bersalaman denganku.
“Hai, teman seperjuangan. Teman seperjuanganku
ini.”
Katanya sambil tersenyum kepadaku. Senyum itu.
Oh Tuhan. Senyum calon penghuni surga. Dapat menyejukkan hati siapa saja yang melihatnya.
Aku kira dia akan mengajakku bersalaman. Tapi
dia hanya mengatupkan kedua tangannya. Memang begitulah seharusnya ketika
laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim hendak bersalaman, cukup mengatupkan
kedua tangan.
Tapi aku tidak ingin hanya begitu. Tidak ada
yang special dari itu. Masa bodoh dengan peraturan yang tidak mengizinkan
laki-laki dan perempuan tidak boleh bersentuhan. Dosa sih. Tapi itu sudah
menjadi hal yang biasa dalam kehidupanku sehari-hari. Maka ku ambil tangannya
dan mengajaknya bersalaman. Tidak ada yang memperhatikanku. Lagipula itu bukan
tindakan yang memalukan.
Dia kaget dan hanya bisa diam tanpa memberikan
perlawanan terhadap apa yang ku lakukan. Mungkin dia sedang berusaha
mencerna apa yang sedang terjadi. Berhubung dia pintar, jadi dia tidak butuh
waktu lama untuk menyadari apa yang terjadi. Ketika sadar dan berhasil
mencerna, dia langsung menarik kedua tangannya.
Aku pun melepaskannya. Merelakannya.
Mengikhlaskannya. Tidak mungkin ku tahan tangannya lebih lama lagi. Tapi itu
cukup membuatku senang dan puas.
Sebelum dia pergi, sambil berlalu dia berkata
kepadaku.
“Selamat berjuang sendiri.”
Lalu dia pergi dan menghilang dibalik pintu.
Untuk beberapa saat aku masih tidak terlalu
memperhatikan apa yang sedang terjadi. Tetapi ketika kelas kembali menjadi sepi
dan proses pembelajaran dilanjutkan, aku baru sadar, akan ada satu bagian lagi
dari hidupku yang akan hilang, akan pergi.
Selalu saja begitu. Setiap pertemuan pasti ada
perpisahan. Tetapi apakah tidak bisa perpisahan itu ditunda untuk waktu yang
lama ?
Kata-kata itu kembali terngiang. “Teman
Seperjuangan”.
Ya, kami memang teman seperjuangan. Sama-sama
berjuang menghafal juz 30 walaupun akhirnya dia duluan yang berhasil menghafal
juz 30. Kami saling mendukung dengan cara yang konyol. Dia selalu berusaha untuk
mengalahkanku, berusaha pamer kalau hafalannya sudah banyak, selalu ingin
membuatku iri. Tapi hal itu memotivasiku untuk terus menghafal dan berusaha
mengalahkannya. Setiap ada surah baru yang kami hafal, baik aku maupun dia, kami
selalu saling memberitahukan satu sama lain.
Kami memang jarang berkomunikasi di sekolah. Sehingga
Tahfidz menjadi tempat kenangan kami berdua.
Setiap tahfidz aku selalu ingin meminjam hpnya.
Tidak ada alasan khusus. Hanya ingin meminjam hpnya. Itu juga bisa menjadi
alasan agar aku tetap dapat berkomunikasi dengannya.
Kini, dalam hitungan bulan, dia akan segera
pergi meninggalkan sekolah.
Tidak ada lagi temanku berkompetisi, tidak ada
lagi orang yang bisa ku pinjam hpnya setiap tahfidz, tidak ada lagi orang yang
akan ku pandangi dan saling bertukar senyum saat kami bosan mendengarkan
pemberian materi.
Satu hal paling ku resahkan adalah dia akan
segera pergi tapi aku tidak tau bagaimana perasaanku terhadapnya. Sahabatku selalu
bilang kalau dia suka padaku. Hal itu kelihatan dari sorot matanya setiap
melihatku. Kadang aku juga merasakan hal itu. Ada yang lain dari sorot matanya
saat dia melihatku. Tapi mungkin itu hanya perasaanku. Mungkin akunya saja yang
ke-ge-er-an. Lagipula sikapnya kepadaku tidak menunjukkan bahwa dia menyukaiku.
Tidak ada yang tau pasti isi hati manusia kan ?
Satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah ketidakpastian.
Selamat berjuang, Kakak. Semoga sukses dengan
Ujian Akhirnya. Do’aku yang terbaik untukmu.
Khaerul Ma’arif.
Selayar, 15 Maret 2015.