Sabtu, 14 Maret 2015

Selamat Berjuang, Teman Seperjuangan

Siang hari yang menyengat. Matahari memaksimalkan panasnya pada siang hari itu. Ruangan kelas seketika berubah menjadi oven raksasa. Empat buah kipas angin yang terdapat di dalam ruangan telah bekerja dengan maksimal. Sayangnya itu tidak dapat mengurangi sedikit pun hawa panas siang itu.

Pelajaran terkakhir siang itu, Speaking English. Pelajaran ini sebenarnya menyenangkan. Sangat menyenangkan malah. Di tambah lagi pelajaran itu di pegang oleh Mr. Idhar, membuat pelajaran itu semakin menyenangkan. Tapi suasana panas siang itu membuatku tidak konsen untuk memperhatikan pelajaran.

Lapar, ngantuk, dan panas. Pelajaran terakhir memang merupakan saat-saat terberat baik bagi guru maupun siswa.

Ku lirik jam tanganku. Hm, penderitaan ini masih akan berlanjut selama satu jam kedepan. Kesabaran ekstra dibutuhkan dalam kasus kali ini.

Ketika kebosanan benar-benar telah menyerangku, dari arah pintu terdengar suara ribut-ribut. Suara ribut-ribut macam apa di siang yang panas ini ?

Ternyata mereka adalah anak XII IPA yang ingin minta maaf. Biasa. Tradisi tahunan. Setiap tahun, menjelang diadakannya ujian akhir, maka kakak-kakak kelas tiga akan berbondong-bondong pergi ke setiap kelas untuk meminta maaf. Serasa kayak lebaran dadakan gitu. Bedanya ini tidak ada acara takbiran dan juga tidak ada ketupat. Hanya acara salam-salaman dan maaf-maafan biasa yang kadang diselingi dengan drama tangis-menangisi karena akan ada yang di tinggalkan dan akan ada yang meninggalkan.

Tahun lalu aku pun ikut menjalankan drama tersebut. Dengan air mata yang mengalir, ku peluk erat-erat kakak kelas tiga yang akan pergi meninggalkan kami. Awalnya aku hanya menangis terpaksa. Ikut berpartisipasi meramaikan suasana. Tapi ketika melihat kak Musfirayanti dan sadar bahwa dia akan pergi dan tidak akan ada lagi senior yang menemaniku ketika Tahfidz, di saat itulah air mataku luluh dan aku pun turut serta dalam drama tangis-menangisi tersebut.

Tahun ini tidak ada drama tangis-menangisi. Entah kenapa. Aku ingin menangis, tapi tidak ada sedikit pun air mata yang keluar. Hanya perasaan sedih dalam hati melihat seniorku akan segera pergi meninggalkan kami dan melanjutkan perjuangan mereka.

Ku perhatikan satu persatu wajah seniorku. Berusaha mencari kenangan yang dapat membuatku menangis. Lalu aku sampai pada wajah seseorang yang selalu ku perhatikan dan ku kagumi sejak kelas satu. Ku perhatikan wajah itu. Tidak ada raut kesedihan di wajah yang selalu tampak bahagia itu. Kesedihan yang ku rasakan dalam hatiku semakin bertambah ketika sadar bahwa ia akan pergi meninggalkan sekolah ini, meninggalkanku.

Acara salam-salam pun di mulai. Satu persatu personil XII IPA menyalamiku dan teman-temanku. Ku jabat tangan mereka, dan untuk orang yang cukup akrab denganku, ku berikan pelukan hangat. Hanya itu yang bisa ku lakukan. Untuk saat itu aku tidak bisa mengeluarkan air mata untuk mengekspresikan kesedihanku saat itu.

Lalu giliran dia bersalaman denganku.

“Hai, teman seperjuangan. Teman seperjuanganku ini.”

Katanya sambil tersenyum kepadaku. Senyum itu. Oh Tuhan. Senyum calon penghuni surga. Dapat menyejukkan hati siapa saja yang melihatnya.

Aku kira dia akan mengajakku bersalaman. Tapi dia hanya mengatupkan kedua tangannya. Memang begitulah seharusnya ketika laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim hendak bersalaman, cukup mengatupkan kedua tangan.

Tapi aku tidak ingin hanya begitu. Tidak ada yang special dari itu. Masa bodoh dengan peraturan yang tidak mengizinkan laki-laki dan perempuan tidak boleh bersentuhan. Dosa sih. Tapi itu sudah menjadi hal yang biasa dalam kehidupanku sehari-hari. Maka ku ambil tangannya dan mengajaknya bersalaman. Tidak ada yang memperhatikanku. Lagipula itu bukan tindakan yang memalukan.

Dia kaget dan hanya bisa diam tanpa memberikan perlawanan terhadap apa yang ku lakukan. Mungkin dia sedang berusaha mencerna apa yang sedang terjadi. Berhubung dia pintar, jadi dia tidak butuh waktu lama untuk menyadari apa yang terjadi. Ketika sadar dan berhasil mencerna, dia langsung menarik kedua tangannya.

Aku pun melepaskannya. Merelakannya. Mengikhlaskannya. Tidak mungkin ku tahan tangannya lebih lama lagi. Tapi itu cukup membuatku senang dan puas.

Sebelum dia pergi, sambil berlalu dia berkata kepadaku.

“Selamat berjuang sendiri.”

Lalu dia pergi dan menghilang dibalik pintu.

Untuk beberapa saat aku masih tidak terlalu memperhatikan apa yang sedang terjadi. Tetapi ketika kelas kembali menjadi sepi dan proses pembelajaran dilanjutkan, aku baru sadar, akan ada satu bagian lagi dari hidupku yang akan hilang, akan pergi.

Selalu saja begitu. Setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Tetapi apakah tidak bisa perpisahan itu ditunda untuk waktu yang lama ?

Kata-kata itu kembali terngiang. “Teman Seperjuangan”.

Ya, kami memang teman seperjuangan. Sama-sama berjuang menghafal juz 30 walaupun akhirnya dia duluan yang berhasil menghafal juz 30. Kami saling mendukung dengan cara yang konyol. Dia selalu berusaha untuk mengalahkanku, berusaha pamer kalau hafalannya sudah banyak, selalu ingin membuatku iri. Tapi hal itu memotivasiku untuk terus menghafal dan berusaha mengalahkannya. Setiap ada surah baru yang kami hafal, baik aku maupun dia, kami selalu saling memberitahukan satu sama lain.

Kami memang jarang berkomunikasi di sekolah. Sehingga Tahfidz menjadi tempat kenangan kami berdua.

Setiap tahfidz aku selalu ingin meminjam hpnya. Tidak ada alasan khusus. Hanya ingin meminjam hpnya. Itu juga bisa menjadi alasan agar aku tetap dapat berkomunikasi dengannya.

Kini, dalam hitungan bulan, dia akan segera pergi meninggalkan sekolah.

Tidak ada lagi temanku berkompetisi, tidak ada lagi orang yang bisa ku pinjam hpnya setiap tahfidz, tidak ada lagi orang yang akan ku pandangi dan saling bertukar senyum saat kami bosan mendengarkan pemberian materi.

Satu hal paling ku resahkan adalah dia akan segera pergi tapi aku tidak tau bagaimana perasaanku terhadapnya. Sahabatku selalu bilang kalau dia suka padaku. Hal itu kelihatan dari sorot matanya setiap melihatku. Kadang aku juga merasakan hal itu. Ada yang lain dari sorot matanya saat dia melihatku. Tapi mungkin itu hanya perasaanku. Mungkin akunya saja yang ke-ge-er-an. Lagipula sikapnya kepadaku tidak menunjukkan bahwa dia menyukaiku.

Tidak ada yang tau pasti isi hati manusia kan ? Satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah ketidakpastian.

Selamat berjuang, Kakak. Semoga sukses dengan Ujian Akhirnya. Do’aku yang terbaik untukmu.

Khaerul Ma’arif.

Selayar, 15 Maret 2015.
 
ReKerNoPis Blogger Template by Ipietoon Blogger Template