Minggu, 15 Februari 2015

(Cerpen) Pria Masa Lalu

Aku duduk di sudut kelas sambil menulis di buku diary berwarna hijau ku yang sudah satu tahun ku miliki tapi sampai saat ini belum habis ku tulisi. Empat kipas angin yang bertengger rapi di setiap sudut kelas menderu halus mendinginkan suasana kelas yang siang itu terasa seperti di sauna.

Keriuhan akibat jam kosong mengganggu konsentrasi menulisku. Makhluk aneh, unik bin ajaib penghuni laboratorium bahasa yang di sulap menjadi ruang kelas XI IPA melakukan sederet parade aneh yang dapat menarik perhatian ataupun mengusik kenyamanan siapa saja yang berada di ruangan itu.

Aku menghentikan kegiatan menulisku. Memperhatikan tingakah laku konyol teman sekelasku. Hal aneh apa lagi yang akan dilakukan oleh pelawak sekaligus penyanyi dadakan kelas XI IPA kali ini. Bahtiar dan hasbir yang hoby menyukai seni menampilkan kesukaan mereka dengan berduet bersama menyanyikan lagu yang entah judulnya apa.

Lagu yang awalnya bagus menjadi hancur dinyanyikan oleh mereka berdua. Bahtiar bernyanyi dengan penghayatan setengah-setengah di tambah dengan logat sok kebule-bulean yang beberapa minggu terakhir ini menjangkiti dirinya. Belum lagi suara bahtiar yang pecah khas suara remaja yang baru mengalami pubertas, membuat telinga sakit saat dia menyanyikan nada tinggi. Lagu itu menjadi lagu dangdut berlogat bule teraneh yang pernah ku dengar. Di tambah lagi hasbir yang tidak mau kalah dengan bahtiar mengeluarkan suara emasnya yang dapat mencapai nada tinggi walaupun kadang nadanya ketinggian.

Mereka berduet dan menimbulkan kehebohan di kelas. Beberapa kawan yang merasa terganggu dengan lengkingan dua makhluk tersebut kadang menegur. Tapi telinga mereka berdua bagaikan telingan gajah yang tebal dan keras sehingga mereka seakan tidak mendengar rintihah teman sekelas yang sudah ingin melompat dari jendela kelas berlantai dua tersebut saking frustasinya mendengarkan mereka berdua menyanyi yang seperti anjing laut kelaparan.

Di sisi lain kelas ada anak laki-laki berpipi cekung dengan sorot mata tajam sedang sibuk menjahili siswa yang lain. Di saat semua siswa memiliki kesibukan mereka masing-masing saat jam pelajaran kosong seperti ini, kesibukan dia malah mengganggu siswa yang punya kesibukan sendiri. Dia adalah murid paling jahil di kelasku. Hidupnya bagaikan tidak tenang jika dia tidak menjahili siswa yang lain. Dan aku adalah yang paling sering menjadi korbannya.

Tapi, belakangan ini, akibat insiden waktu itu, dia tidak pernah lagi menggangguku.

Kebiasaanku duduk di sudut paling belakang kelas bukanlah tanpa alasan. Dari situ, aku bisa dengan leluasa bisa memperhatikan tingkah laku teman-temanku tanpa gangguan sedikit pun. Termasuk bisa memperhatikan pria itu tanpa harus takut ketahuan karena dia lebih sibuk mengganggu orang lain di banding memperhatikanku.

Dia menggoda seorang siswi yang sedang sibuk menyanyi meratapi kegalaunnya. Siswi tersebut marah dan mengejar pria itu ingin membalas. Mereka kejar-kejaran keliling kelas. Menambah kegaduhan yang awalnya diciptakan oleh bahtiar dan hasbir.

Aku tersenyum tipis melihat adegan itu. Dulu aku adalah pemeran adegan itu. Dulu kami berdua selalu bertengkar setiap ada jam kosong. Awalnya hanya masalah kecil, tapi kemudian menjadi besar karena dibesar-besarkan.

Siswi tersebut berhasil mendapatkan pria itu, kemudian dia memukul pria itu. Pria itu tampak diam saja sambil melindungi kepalanya dari pukulan. Setelah itu dia pun berlalu dan pergi ke tempat bahtiar.

Itu merupakan pemandangan yang ganjil. Dulu dia tidak pernah mengalah kalau bertengkar denganku. Dia tidak pernah rela di pukul atau di cubit olehku. Akhir-akhirnya tetap aku yang menderita walaupun dia yang membuat masalah. Aku tidak pernah bisa langsung membalasnya. 

Harus menunggu dia sibuk baru aku bisa membalasnya. Itu pun tetap dengan konsekuensi aku harus menyiapkan jurus seribu langkah.

Sambil berjalan ke bahtiar, dia tiba-tiba menoleh ke arahku. Aku pun langsung reflex membuka buku diaryku agar tidak ketahuan bahwa aku daritadi memperhatikannya.

Lonceng istirahat berbunyi. Seketika semua murid berhenti melakukan aktivitasnya masing-masing dan tanpa di aba-aba langsung serentak menuju pintu. Pria itu sebelum keluar sempat berhenti sebentar dan kembali menoleh ke arahku. Dia melihatku dengan tatapan yang aku tidak tau apa artinya. Sorot matanya tajam. Tapi tidak tersirat kebencian di mata itu. Betapa menjengkelkannya aku di matanya, tapi tidak pernah sekali pun aku melihat dia menatapku dengan tatapan kebencian, walaupun kadang-kadang dia menatapku dengan tatapan marahnya.

“Eh, ke kantin yuk !”, ucap Inna sambil menarik tanganku agar beranjak dari kursi.

“Apa ? Ke kantin ? Ayo. Ayo.”

“Kamu kenapa ? Lagi mikirin apa sih ?”

“Ah ? Gak kenapa-kenapa koq. Cuma lagi mikirin ….”

****

“Pulang, yuk !”, ucap Inna membuyarkan lamunanku.

“Apa ?”

“Pulang !”

“Pulang ?”

“Iya pulang. Ini udah malam. Kantor juga udah mau tutup.”, Inna sudah mulai kesal.

“Oh, iya. Ayo pulang.”, sambil beranjak dari kursiku.

“Kamu kenapa sih ? Lagi ngelamunin apa tadi ? Kamu kayak lagi gak dibumi. Senyum-senyum sendiri kayak orang gila !”

“Hahaha. Masa sih ? Aku tadi tiba-tiba ingat dia. Kamu ingat dia kan ?”

“Dia siapa ?”

“Itu loh teman SMA kita.”

“si Pria Masa Lalu ?”


“Iya benar. Pria Masa Lalu.”
 
ReKerNoPis Blogger Template by Ipietoon Blogger Template