Aku duduk di sudut kelas sambil
menulis di buku diary berwarna hijau ku yang sudah satu tahun ku miliki tapi
sampai saat ini belum habis ku tulisi. Empat kipas angin yang bertengger rapi
di setiap sudut kelas menderu halus mendinginkan suasana kelas yang siang itu
terasa seperti di sauna.
Keriuhan akibat jam kosong
mengganggu konsentrasi menulisku. Makhluk aneh, unik bin ajaib penghuni
laboratorium bahasa yang di sulap menjadi ruang kelas XI IPA melakukan sederet
parade aneh yang dapat menarik perhatian ataupun mengusik kenyamanan siapa saja
yang berada di ruangan itu.
Aku menghentikan kegiatan menulisku.
Memperhatikan tingakah laku konyol teman sekelasku. Hal aneh apa lagi yang akan
dilakukan oleh pelawak sekaligus penyanyi dadakan kelas XI IPA kali ini. Bahtiar
dan hasbir yang hoby menyukai seni menampilkan kesukaan mereka dengan berduet
bersama menyanyikan lagu yang entah judulnya apa.
Lagu yang awalnya bagus menjadi
hancur dinyanyikan oleh mereka berdua. Bahtiar bernyanyi dengan penghayatan
setengah-setengah di tambah dengan logat sok kebule-bulean yang beberapa minggu
terakhir ini menjangkiti dirinya. Belum lagi suara bahtiar yang pecah khas
suara remaja yang baru mengalami pubertas, membuat telinga sakit saat dia
menyanyikan nada tinggi. Lagu itu menjadi lagu dangdut berlogat bule teraneh
yang pernah ku dengar. Di tambah lagi hasbir yang tidak mau kalah dengan
bahtiar mengeluarkan suara emasnya yang dapat mencapai nada tinggi walaupun
kadang nadanya ketinggian.
Mereka berduet dan menimbulkan
kehebohan di kelas. Beberapa kawan yang merasa terganggu dengan lengkingan dua
makhluk tersebut kadang menegur. Tapi telinga mereka berdua bagaikan telingan
gajah yang tebal dan keras sehingga mereka seakan tidak mendengar rintihah
teman sekelas yang sudah ingin melompat dari jendela kelas berlantai dua
tersebut saking frustasinya mendengarkan mereka berdua menyanyi yang seperti
anjing laut kelaparan.
Di sisi lain kelas ada anak
laki-laki berpipi cekung dengan sorot mata tajam sedang sibuk menjahili siswa
yang lain. Di saat semua siswa memiliki kesibukan mereka masing-masing saat jam
pelajaran kosong seperti ini, kesibukan dia malah mengganggu siswa yang punya
kesibukan sendiri. Dia adalah murid paling jahil di kelasku. Hidupnya bagaikan
tidak tenang jika dia tidak menjahili siswa yang lain. Dan aku adalah yang
paling sering menjadi korbannya.
Tapi, belakangan ini, akibat insiden
waktu itu, dia tidak pernah lagi menggangguku.
Kebiasaanku duduk di sudut paling
belakang kelas bukanlah tanpa alasan. Dari situ, aku bisa dengan leluasa bisa
memperhatikan tingkah laku teman-temanku tanpa gangguan sedikit pun. Termasuk
bisa memperhatikan pria itu tanpa harus takut ketahuan karena dia lebih sibuk
mengganggu orang lain di banding memperhatikanku.
Dia menggoda seorang siswi yang sedang
sibuk menyanyi meratapi kegalaunnya. Siswi tersebut marah dan mengejar pria itu
ingin membalas. Mereka kejar-kejaran keliling kelas. Menambah kegaduhan yang
awalnya diciptakan oleh bahtiar dan hasbir.
Aku tersenyum tipis melihat adegan
itu. Dulu aku adalah pemeran adegan itu. Dulu kami berdua selalu bertengkar
setiap ada jam kosong. Awalnya hanya masalah kecil, tapi kemudian menjadi besar
karena dibesar-besarkan.
Siswi tersebut berhasil mendapatkan
pria itu, kemudian dia memukul pria itu. Pria itu tampak diam saja sambil
melindungi kepalanya dari pukulan. Setelah itu dia pun berlalu dan pergi ke
tempat bahtiar.
Itu merupakan pemandangan yang
ganjil. Dulu dia tidak pernah mengalah kalau bertengkar denganku. Dia tidak pernah
rela di pukul atau di cubit olehku. Akhir-akhirnya tetap aku yang menderita
walaupun dia yang membuat masalah. Aku tidak pernah bisa langsung membalasnya.
Harus menunggu dia sibuk baru aku bisa membalasnya. Itu pun tetap dengan
konsekuensi aku harus menyiapkan jurus seribu langkah.
Sambil berjalan ke bahtiar, dia
tiba-tiba menoleh ke arahku. Aku pun langsung reflex membuka buku diaryku agar
tidak ketahuan bahwa aku daritadi memperhatikannya.
Lonceng istirahat berbunyi. Seketika
semua murid berhenti melakukan aktivitasnya masing-masing dan tanpa di aba-aba
langsung serentak menuju pintu. Pria itu sebelum keluar sempat berhenti
sebentar dan kembali menoleh ke arahku. Dia melihatku dengan tatapan yang aku
tidak tau apa artinya. Sorot matanya tajam. Tapi tidak tersirat kebencian di
mata itu. Betapa menjengkelkannya aku di matanya, tapi tidak pernah sekali pun
aku melihat dia menatapku dengan tatapan kebencian, walaupun kadang-kadang dia
menatapku dengan tatapan marahnya.
“Eh, ke kantin yuk !”, ucap Inna
sambil menarik tanganku agar beranjak dari kursi.
“Apa ? Ke kantin ? Ayo. Ayo.”
“Kamu kenapa ? Lagi mikirin apa sih
?”
“Ah ? Gak kenapa-kenapa koq. Cuma
lagi mikirin ….”
****
“Pulang, yuk !”, ucap Inna
membuyarkan lamunanku.
“Apa ?”
“Pulang !”
“Pulang ?”
“Iya pulang. Ini udah malam. Kantor
juga udah mau tutup.”, Inna sudah mulai kesal.
“Oh, iya. Ayo pulang.”, sambil
beranjak dari kursiku.
“Kamu kenapa sih ? Lagi ngelamunin
apa tadi ? Kamu kayak lagi gak dibumi. Senyum-senyum sendiri kayak orang gila
!”
“Hahaha. Masa sih ? Aku tadi
tiba-tiba ingat dia. Kamu ingat dia kan ?”
“Dia siapa ?”
“Itu loh teman SMA kita.”
“si Pria Masa Lalu ?”
“Iya benar. Pria Masa Lalu.”